Euforia sepak bola masyarakat Indonesia secara ekstrim digaungkan publik disepanjang pertandingan sepak bola piala Suzuki ASEAN Football Federation 2010. Gegap gempita bolamania lebih menguat lagi tatkala Timnas kita (Indonesia) mengalahkan secara telak Timnas Filipina 22 Desember 2010 dan mengantarkan Timnas Indonesia memasuki babak final melawan Timnas Malaysia yang digelar tanggal 26 Desember 2010 di stadion Bukit Jalil Malaysia dan sebuah pertandingan lagi di Gelora Bung Karno Jakarta (29 Desb. 2010).
Pada pertandingan putaran pertama (“away”) dilaksanakan tgl 26 Desember 2010 antara Timnas Indonesia melawan Timnas Malaysia dan berakhir dengan kekalahan Timnas Indonesia dengan score 3:0. Mengomentari kekalahan ini, Irfan Bachdim mengatakan bahwa Timnya tidak perlu mencari alasan-alasan karena kalah. “Seorang pemenang tidak pernah menyerah.” Pernyataan ini sejatinya menjadi kata-kata bijak yang meluncur dari jiwa seorang pemenang. Pada jejaring social (face book, twitter, youtube), publik Indonesia tetap menunjukkan dukungan positip pada tim kesayangannya, Merah-Putih. Beberapa analis sepakbola-pun menasehatkan Timnas untuk memulai konsentrasinya di pertandingan mendatang, dalam arti tidak terjebak pada “bayangan” kekalahan di pertandingan yang baru lalu.
Pertanyaan selanjutnya adalah andaikata Timnas kita benar-benar kalah dan kekecewaan menghantam telak hati para pecinta bola mania yang sangat banyak jumlahnya. Mereka terlanjur menaruh harapan untuk menang dan mempersiapkan diri untuk hal tersebut dengan menyiapkan berbagai acara lengkap dengan atribut kebesaran Timnas; mulai kaus kesebelasan warna merah berlogo garuda di dada, syal bertuliskan I Love Indonesia sampai spanduk di jalanan kota dan desa. Suasana euphoria meningkat lagi, tatkala hari H dan jam D dimana seolah-olah suasana desa maupun kota di Indonesia tiba-tiba berubah. Jalanan menjadi lengang, di desa orang-orang berkerumun dengan terus memelototi layar kaca di rumah-rumah maupun di warung. Sementara di kota warung-warung hingga kafe penuh berjejal untuk nonton bareng pertandingan dalam sorotan layar besar LCD.
Sungguh sebuah euphoria yang menggembirakan sekaligus menggelisahkan bagi dunia sepak bola kita. Tentu menggembirakan andaikata euphoria ini memacu prestasi dunia sepak bola nasional kita menuju hal yang lebih baik. Namun ketika harapan mereka tidak terpenuhi tentu pula akan menimbulkan rasa kecewa. Secara psikologis hal semacam ini dapat berubah berbalik, maksudnya adalah terjelek masyarakat akan “membuang muka” dari dunia sepak bola tim kesayangannya.
Memang olah raga sepak bola di Indonesia amat digemari. Hampir setiap desa memiliki lapangan sepak bola, dan memiliki pula klub-klubnya. Masyarakat selalu menyambut gempita ketika kesebelasan mereka bermain antar klub di desa. Kondisi demikian hamper identik dan tertata di wilayah kota. Klub-klub sepak bola semakin professional diikuti pula sekolah-sekolah sepak bola dengan kurikulum yang apik. Penghayatan dunia sepak bola oleh masyarakat Indonesia yang berjumlah sekitar 225 juta rasanya patut menjadi perhatian, sebab Jiwa Rakyat Indonesia sejatinya adalah Jiwa Bola.
Semoga…!!!
Essay & Photo by AW/IDD